Pada awal pertengahan tahun 1980-an, orang mulai sadar bahwa narkoba suntik merupakan salah satu cara penularan penyakit AIDS yang dikenal mematikan itu. Tingkat infeksi HIV yang lebih tinggi terjadi pada negara-negara yang miskin di Afrika dan Asia, terutama negara yang memproduksi atau menjadi rute perdagangan narkoba. Infeksi HIV diantara pemakai narkoba suntik sendiri diketahui pertama kali pada tahun 1987, setelah tingkat infeksi sebelumnya meningkat pesat antara 40% - 50%. Asia Tenggara termasuk Indonesia termasuk area yang rawan karena kemiskinan dan produksi heroin di beberapa negara di Asia.
Di Indonesia, hingga bulan maret tahun 2008 Depkes RI menyatakan bahwa jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV/AIDS ada penambahan 727 kasus AIDS dan 64 kasus HIV. Sekitar 202 kasus diantaranya terinfeksi karena pemakaian jarum secara bergantian. Jika dibandingkan triwulan pertama tahun 2007 terjadi peningkatan 63% kasus HIV AIDS. Total akimulasi kasus HIV/AIDS yang terungkap (tercatat), sejak penyakit itu melanda Indonesia tahun 1987 sampai akhir Maret 2008 dicatat sebanyak 17.998 orang, 2486 korban diantaranya meninggal dunia. Artinya epidemi HIV/AIDS yang nampak di depan mata hanya merupakan puncak dari gunung es yang ada di permukaan air. Bahkan Departemen Kesehatan menyatakan bahwa kecenderungan epidemic concentrate level HIV/AIDS di beberapa daerah di Indonesia telah sampai pada lampu merah. Laporan Unicef, Unaids dan WHO pada tahun 2002 menyebutkan bahwa hampir semua infeksi HIV di Eropa Timur dan Asia Tengah terkait dengan narkoba suntik. Di negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia, epidemi terjadi pada pengguna narkoba suntik dan pekerja seks dengan mayoritas umur di bawah 25 tahun. Selama kurun waktu 12 tahun sejak kasus HIV ditemukan di Indonesia pada 1987, hanya terdapat 6 kasus HIV di kalangan IDU (injecting drug user). Peningkatan yang sangat pesat terjadi setelah itu. Pada tahun 1999, tercatat sebanyak 300 kasus HIV di kalangan pemakai narkoba suntikan. Pada tahun 2008, tercatat 5834 kasus HIV di kalangan IDU. Angka angka tersebut menunjukkan bahwa permasalahan IDU di Indonesia sudah saatnya dicermati karena ini dapat menyebabkan ledakan untuk penularan HIV. Data menunjukkan bahwa kelompok umur 15 – 24 tahun merupakan 32% dari 17.998 orang pengidap virus HIV/AIDS di Indonesia.
Fakta ini menunjukkan bahwa sebagian besar pemakai narkoba adalah remaja dan usia dewasa muda yang merupakan usia produktif. Kelompok umur ini memiliki karakteristik yang rentan terkena narkoba karena rasa ingin tahu dan keinginan untuk mencoba. Frekuensi injeksi bervariasi, bisa mencapai 10 kali bahkan lebih setiap hari. Narkoba, psikotropika dan zat aditif telah disinyalir sebagai penyebab penularan HIV/AIDS karena hanya sebagian kecil pemakai yang mengetahui bahwa HIV dapat ditularkan melalui pemakaian jarum suntik bersama. Kalaupun mereka mengetahuinya, namun karena pada keadaan ‘sakaw’ tidak ada pilihan atau karena sangat membutuhkan narkoba sehingga tidak memikirkan lagi bahaya yang mengancam nyawa mereka. Bermacam-macam obat yang diinjeksikan, termasuk cocaine, amphetamines, tranquilizers, barbiturates dan opiat lainnya yang diproduksi oleh pabrik obat. Untuk yang terakhir disebutkan, heroin adalah yang paling umum dilaporkan. Injeksi HIV juga terjadi bukan karena pemakaian jarum bersama tapi juga karena bahan-bahan untuk menyiapkan injeksi yang terkontaminasi oleh virus ini.
Pemakai narkoba suntik menyebar pada kelompok kelompok sosial baru karena kondisi dan perubahan ekonomi, politik dan sosial regional dan global, selain karena kurang memadainya pengendalian obat terlarang tersebut oleh pemerintah dan didukung oleh budaya serta tradisi lokal. Kalau dulu narkoba dan HIV/AIDS adalah masalah bagi anak-anak orang kaya saja, namun tidak demikian halnya apa yang terjadi saat ini. Narkoba telah menjalar kemana-mana pada berbagai tingkat sosial masyarakat namun justru lebih banyak terjadi pada kelompok masyarakat yang miskin. Bahkan di kalangan anak jalanan usia dibawah 9 tahun telah mulai menggunakan ganja dan lem, dari pria sampai wanita, pelajar, mahasiswa, penganggur sampai birokrat, artis dan olahragawan. Zat-zat berbahaya ini juga beredar tidak hanya di kota tetapi juga di desa. Siapa yang tidak kenal dengan narkoba (narkotika dan bahan adiktif), benda berbentuk serbuk putih ini begitu mudahnya beredar ke sekolah-sekolah dan tempat-tempat potensial remaja berkumpul. Bahkan pelajar dan mahasiswa banyak yang terlibat sebagai pemakai sekaligus pengedar. Kolaborasi antara narkoba dan HIV/AIDS menjadikan dampaknya sangat mahal bagi suatu negara. Dalam hal ini, prinsip lebih baik mencegah daripada mengobati menjadi hal yang terpenting bagi semua pihak dalam masyarakat.
Menurut teori-teori perubahan perilaku, perubahan perilaku terjadi setelah perubahan sikap, dan perubahan sikap membutuhkan perubahan pengetahuan. Namun dalam kenyataan, dalam konteks narkoba ini apa yang terjadi sering jauh lebih kompleks. Kadang-kadang perubahan perilaku terjadi melalui pengaruh lingkungan dan diikuti oleh perubahan sikap dan pengetahuan. Karena kelompok umur muda pada umumnya masih tinggal bersama keluarga, maka peranan rumah tangga atau keluarga menjadi sangat penting dalam pencegahan narkoba dan infeksi HIV. Lingkunan sekolah tidak kalah pentingnya sebagai sumber informasi tentang bahaya narkoba dan HIV/AIDS. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pada umumnya mampu untuk menjangkau pecandu narkoba yang sulit dijangkau oleh petugas pemerintah, sehingga LSM sebenarnya dapat menjadi kepanjangan tangan pemerintah dalam menangani masalah ini. Memecahkan masalah narkoba tidak akan pernah bisa terlepas sama sekali dari permasalahan yang dihadapi remaja dan kaum muda pada jaman sekarang. Keterkaitan antara orang tua, tokoh masyarakat, LSM, pemerintah, hingga remaja dan kaum muda itu sendiri berpengaruh terhadap perkembangan persoalan remaja. Bahkan peran media masa juga penting untuk dilibatkan baik melalui pemerintah maupun swasta. Peran penegak hukum sangat penting dalam pemberantasan narkoba yang beredar.
Tugas sistem kesehatan adalah melakukan usaha-usaha agar pemakaian narkoba berkurang dan juga mengubah perilaku pemakai narkoba suntik. Upaya pencegahan HIV juga harus dapat menghindarkan generasi muda yang berpotensi menjadi pemakai narkoba suntik agar mereka dapat mengatasi tekanan dari kelompoknya sehingga dapat mengatakan ‘tidak’ kepada narkoba. Pada kelompok yang telah menggunakan narkoba, maka diupayakan untuk membantu mereka menurunkan resiko terjangkit HIV. Misalnya dengan memberi pengetahuan mengenai bahaya pemakaian jarum, suntik bersama, atau yang bahkan yang menimbulkan kontroversi adalah menyediakan jarum suntik gratis bagi pemakai narkoba. Memang solusi ini dilematis dan kontroversial. Tetapi ini bukan berarti memfasilitasi para pemakai narkoba. Strategi lain yang lebih kompromistis bagi semua pihak tentunya adalah mencegah penularan HIV/AIDS melalui narkoba suntik dengan memberantas peredaran narkoba. Sekali lagi peran dari pendidikan baik di sekolah, keluarga, polisi, penegak hukum dan masyarakat penting dalam pengurangan pemakaian narkoba oleh masyarakat dan anggota keluarga kita yang tercinta.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar